Selasa, 26 Mei 2009

PUNCAK SAKUB KALIGUA TERTUTUP UNTUK WISATAWAN


GUNUNG SLAMET DIFOTO DARI KALIERANG BUMIAYU OLEH T.GUNAWAN RAZUKI


27 Mei 2009 - SUARA MERDEKA


BUMIAYU- Menyusul peningkatan aktivitas Gunung Slamet beberapa hari terakhir, kawasan Puncak Sakub di Perkebunan Teh Kaligua Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes, rencananya akan ditutup sementara waktu.
Asisten I Setda Kabupaten Pemkab Brebes H Supriyono dihubungi melalui ponselnya Selasa (26/5) kemarin membenarkan rencana tersebut.

”Saat ini rencana tersebut sedang kami koordinasikan dengan pihak terkait antara lain tim SAR, Muspika dan pengelola perkebunan. Tapi yang jelas penutupan akan dilakukan dalam waktu dekat ini,” ujar Supriyono.

Menurutnya, penutupan dilakukan karena jumlah pengunjung yang mendatangi Puncak Sakub semakin meningkat. Sementara di sisi lain aktivitas Gunung Slamet terus meningkat.

”Penutupan ini hanya berlaku untuk kawasan Puncak Sakub saja. Ini merupakan langkah antisipasi ntuk mencegah atau menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang ditimbulkan dari aktivitas Gunung Slamet,” kata dia.

Seperti diketahui, menyusul status siaga Gunung Slamet, Puncak Sakub yang bercokol di ketinggian 2.050 meter di bawah permukaan laut (mdpl) ramai dikunjungi warga. Mereka datang untuk menyaksikan lava pijar yang disemburkan dari perut gunung.

”Semburan lava pijar yang dikeluarkan dari perut gunung menjadi fenomena alam langka ini menarik perhatian warga,” tutur Firman, koordinator lapangan SAR Kesbanglinmas, di Desa Pandansari.
Ratusan
Diakui, kunjungan warga ke Puncak Sakub bukan menyusut tetapi justru meningkat. Puncak keramaian terjadi setiap malam akhir pekan. Para pengunjung datang berombongan, ada yang menggunakan sepeda motor adapula yang khusus mencarter kendaraan.

Diakui, dari Puncak Sakub fenomena alam yang langka tersebut sangat jelas terekam. ”Jumlahnya mencapai ratusan. Pengunjung bukan hanya warga sekitar, adapula yang datang dari wilayah Banyumas,” terang Firman.

Menyusul aktivitas gunung tertinggi nomor dua di Jawa tersebut, Firman mengaku menyiagakan posko induk di halaman kantor Desa Pandansari. Warga juga diimbau tetap tenang tanpa meninggalkan kewaspadaan. ”Ada 10 personil SAR Brebes yang disiagakan di sini (Pandansari),” kata dia.

Sementara Kepala Desa Pandansari Kamdo mengatakan peningkatan aktivitas Gunung Slamet tak berpengaruh pada ke-hidupan warga masyarakat. ”Mereka tetap beraktivitas seperti biasa,” katanya. (H51-47)

TEH 'INCIP' DARI CIPETUNG PAGUYANGAN


Teh "Incip" Masih Produksi Secara Tradisional
Ditulis oleh Administrator
Tuesday, 26 May 2009
PAGUYANGAN - Desa Cipetung Kecamatan Paguyangan memiliki potensi perkebunan teh milik warga yang selama ini mampu diandalkan sebagai potensi unggulan di sektor partanian, selain hasil bumi lain dari jenis sayuran sebagai komoditas utama yag dihasilkan oleh beberapa des di Kecamatan Paguyangan khususnya yang berada di lereng gunuung Slamet.

Berbeda dengan daun teh yang diproduksi PT Perkebunan Nusantara IX Kaligua, teh yang dihasilkan dari perkebunan warga masyarakat Desa Cipetung ini dipoduksi secara tradisional. Sehingga baik rasa maupun aroma yang dihasilkan benar-benar original tanpa sentuhan bahan campuran lain seperti melati yang lazim digunakan. "Warga menamakan daun teh yang dihasilkan dengan sebutan teh incip, seluruh tahapan produksi dilakukan secara tradisional. Mulai dari pemetikan, memasak hingga kemasannya pun masih seadanya. Bahkan wajan sebagai alat untuk memasak masih terbuat dari tanah," kata Sutrisno, Kades Cipetung.

Di desanya terdapat 12 hektar perkebunan teh milik warga yang tergabung dalam kelompok tani Sugih Makmur. Dari 1 hektar lahan perkebunan mampu menghasilkan 500 kilogram teh basah dengan masa panen selama 15 hari sekali. "Secara keseluruhan terdapat 200 petani yang menggeluti usaha perkebunan teh incip ini, sementara rumah industri pengolahan terdapat 25 unit. Dalam pemasarannya, teh incip biasa langsung dikirim kepada para penjual di luar Kecamatan Paguyangan dengan harga Rp 1000 per ons," kata Sutrisno.

Perkebunan rakyat teh incip desa Cipetung menurut dia, selama ini belum dapat melakukan pengembangan usaha utamanya dalam sektor pengembangan pemasaran. Karenanya dia berharap para petani dapat diberikan pembinaan dari dinas terkait, mengenai upaya pengembangan usaha dan juga peningkatan kualitas hasil produksi. (pri)

Senin, 25 Mei 2009

PENGRAJIN REBANA DI KALIWADAS BUMIAYU - BREBES JAWA TENGAH



Saingan dan Modal: Masalah Pengrajin Rebana
Oleh : Redaksi-kabarindonesia





Rebana adalah alat musik tradisional yang banyak dipakai untuk musik irama padang pasir. Pada musik gambus, kasidah dan hadroh adalah jenis kesenian yang sering menggunakan rebana. Di Desa Kaliwadas, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, ribuan rebana dihasilkan dan dijual ke pasar domestik dan internasional. Ribuan Rebana

Di Desa Kaliwadas dihasilkan ribuan rebana yang dijual ke berbagai daerah, termasuk ke luar negeri. Hampir seluruh warganya membuat rebana. Jumlahnya mencapai 400an rumah usaha yang mempekerjakan empat hingga lima karyawan. Masruri salah satu pengusaha kecil pembuat rebana.Masruri: "Ini unggul, produksi paling banyak, kalau mutunya kurang tahu. Kan ada lagi yang bikin lebih bagus. Kalau di sini mutunya ya mungkin sedang. Kalau produksi paling banyak, hampir satu desa kan bikin semua kan setiap rumah"

Desa ini terletak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di sini, berjajar rumah penduduk yang memajang rebana di depan rumah. Sakim, kepala Dusun Kaliwadas mengatakan, dari tahun ke tahun, produksi rebana di Kailwadas terus meningkat.

Tidak rumit
Sakim: "Tahun ke tahun ya dari saya, ingat saya tahun 50 sampai sekarang itu ya maju. Jadi umpamanya kan ada kadang kalau dari KKNlah, nanti kalau itu pohon itulah habis, ya kan?

Sampai sekarang ya ditebangi macam apa ada saja pohon-pohon, sudah 180 orang yang bikin robana, maju sekali. Jumlahnya 180 orang yang itu kecil-kecil tapi cuman khusus di daerah-daerah Kaliwadas. Dibikin daerah lainnya gak maju. Bikin ke Tasik membawa tukang bubutnya ya gak jalan. Ke Sumatra, kan banyak pohon-pohon ya. Gak jalan, yang saya pribumi asli Kaliwadas yang tahu gitu dari jaman dulunya jadi itu maju saja"Membuat rebana sebenarnya tidak rumit. Bingkainya dibuat dari papan kayu. Papan itu lantas dibentuk dengan kampak.

Bahan baku bingkai terbagus terbuat dari kayu sawo, kayu sana keling dan kayu laban. Namun yang paling banyak dipakai saat ini adalah kayu mangga dan suyudan karena gampang didapat.

Tidak sembarang orang
Meski tak rumit, tak sembarang orang bisa membuat bingkai rebana. Nah, kalau sudah ahli, dalam sehari seorang pekerja bisa menghasilkan 80 bingkai rebana.Prosesnya seperti yang dijelaskan Nursidik, pengrajin rebana, " ...Itu dibakar, terus diampelas gitu. Tujuannya ben halus, ilangin yang kasar. Dibakar dulu terus diampelas, terus didasari pakai bensin. Tujuannya nutup pori-pori, memperkuat cat, yang pakai sirlak kan pakai bensin dulu, baru pakai kuas. Adanya sirlak itu spirtus, sirlak dicampur nah itu timpahkan baru itu pan jadi"
Papan kayu yang sudah halus itu lantas dibubut menjadi lingkaran.Nur Sidik: "Ya langsung dibubut itu mah, itu yang dilubangi tengahnya jadi tiga. Satu bahan itu jadi tiga, pertama ukuran 33, kedua ukuran 25, ketiga ukuran 17. Tiga macem itu satu jam, yang satu bahan itu satu jam. Itu pake mesin, pakai listrik waktu dulu kan pake bambu yang begini ya lebih mudah. Dulu pakai kaki meganginya pakai kaki"

Kulit kambing
Setelah bingkai rampung, kulit pun dipasang menggunakan alat khusus. Kata Masruri, kulit terbaik untuk rebana adalah kulit kambing yang telah dikeringkan.Masruri: "Ini yang dipakai kulit kambing, kalau yang lain dari itu ga dipakai, gak bisa masalahnya. Kalau kulit kerbau hanya buat beduk saja. Itu udah jadi kayu bulat. Itu langsung dipasang kulit. Nah sudah kulit kering, baru diplitur kayunya supaya mengkilat. Nah itu baru dicat kulitnya, supaya yang ada itu gambar itu disablon. Entar setelah itu baru dipasang rumbai-rumbai. Kalau spontan langsung gak bakalan jadi, meleleh gitu cetnya. Jadi ya antara setengah hari tapi kan bikinnya sekaligus banyak. Kita nunggu yang lain biar kering yang lain bikin"
Kualitas suara rebana, kata Masruri, sangat ditentukan oleh proses pemasangan kulit. Masruri: "Direndam aja dua hari, baru dikerok. Ya minimal empat harilah, jadi kulitnya bersih. Ini ngukur musiknya tinggal kitanya. Kalau mantengnya lebih kenceng, suaranya pasti kenceng. Tapi kalau pingin bas, supaya bunyinya dung, dung, dung, kita mantengnya ga terlalu kenceng, sedengan aja gitu"

Dipermudah listrik
Sejak listrik masuk Desa Kaliwadas tahun 1980an, proses pembuatan rebana sedikit berubah. Kalau semula digarap satu orang, kini pembuatan rebana dipisah-pisah per bagian.Masruri: "Ini ya ada orang kerja yang lain. Yang ngerok kulit sendiri. Yang masang kulit sendiri, yang mangkis sendiri. Ada dari mulai kayu buletin, sampai dibelah-belah, sampai di potong-potong, sampai di bunderin, dibubut. Jadi isinya tiga. Kedua selo yang paling lebar itu setelan, genjring, terbang bahasa Jawanya"

Sejak tahun 50-an
Bagaimana asal mula industri rebana di Desa Kaliwadas? Menurut Kepala Dusun Krajan Lor, Sakim, kerajinan pembuatan rebana mulai berkembang 50-an tahun silam.Sakim: "Orang sini, orang tua sini itu pertama ada orang Jatilawang-Ajibarang, pertama-tamanya itu. Kita ingatnya dadi bikin rebana itu di Jatilawang, daerah Ajibarang. Ada bubutan iya, memang, ya di bawah tahun 50-an. Ya pada waktu itu baru beberapa, dulu tentara Banyuangi, besok Kaliwadas akan diberi kesenangan. Khususnya genjring sini, ah masa pak? Coba aja besok, memang betul"
Meski Kaliwadas bukan satu-satunya daerah penghasil rebana, produksi rebana di sini terhitung paling banyak. Nurohman, salah satu pengusaha rebana di Kaliwadas bisa memproduksi dan memasarkan lebih dari dua ribu rebana setiap bulan ke berbagai daerah di Indonesia.

Nurohman: "Saya gak pernah ngitung, cuman kira-kira itu. Kira-kira ya sekitar 150, sekitar 200 lebihlah. Itu masih sebatas luar Jawa saja, misalnya mungkin 75% daerah Sumatra, mulai dari Lampung, Palembang, Bengkulu, Sumatra Barat, Riau, Medan, ada juga mungkin oleh yang dikirim dari Medan tapi saya sendiri ga langsung ke Aceh"

Panen Ramadhan
Kata Masruri, pesanan biasanya membludak menjelang hari raya Idul Fitri. "Kalau bulan ramadan malah saya bikin banyak. Masalah pesanan kita kan nyari ke mana-mana, ada pesan jadi kita kontinyu, ini ga pesen sono ada pesen," jelasnyaUmumnya para pengrajin rebana memasarkannya lewat pengusaha seperti Nurohman. Tapi Masruri memilih untuk memasarkan rebananya secara mandiri.

Masruri: "Kalau saya Tasik, langsung ke pasaran ya Tasik, Garut, Bandung, Jakarta. Kadang juga ke Sumatra. Ada yang ngedrop saya ke Sumatra. Ada yang bawa ya dia itu rumahnya belakang, satu truk, ya hampir tiga minggu sekali, dalam jumlah minimal ya 150 set. Itu kaya set-setan, kalau setelan masih banyak yang lain belum drumbandnya"

Tenar
Rebana buatan Kaliwadas pun sudah tenar sampai ke negeri tetangga. Malaysia dan Brunei Darussalam tercatat sebagai pembeli rebana. Jumlahnya memang belum banyak, mengingat tingkat persaingan kualitas sangat ketat.Pengusaha rebana, Nurohman, bercerita, rebana yang berhasil menembus pasar luar negeri hanya sekitar 5% dari total produksi.

Nurohman: "Memang sebetulnya permintaan banyak ke Malaysia. Cuman harganya kalau kalau dibanding dengan pemasaran di Indonesia sendiri itu hampir dua kali harga Indonesia ya. Cuman kulaitas di sana, itu di sanakan semuanya harus serba baguslah. Seperti kayu tanpa dempul, kulit harus betul-betul yang nomer satu, sedang kaya orang-orang perajin rebana itukan asal-asalan jadi. Kalau misalnya 1000 biji disortir cuman masuk 10 biji atau 20 biji. Itukan mungkin yang lainnya jelek semua ya. Kalau dipasarkan di Sumatra itu juga agak berat, soalnya ga ada barang yang bagusnya"

Pentingkan kuantitas
Pembuatan rebana di Kaliwadas kelihatannya memang lebih memperhitungkan jumlah ketimbang mutu. Tak heran, harga rebana Kaliwadas sangat murah, baik yang ukuran besar atau kecil.Nurohman: "Itu macam-macam. Ada yang per set, per biji juga ada. Ada yang per kodi juga ada, itu tergantung. Kalau luar Jawa rata-rata itu perkodi ya, itu ka nada yang XL, XL itu 35 senti ukurannya.

Terus L 31 senti, M 27 senti terus S 22, terus yang paling kecil namanya B4, itu namanya rebana TK. Itu paling 17-18cm. Tapi itukan dari ukuran terkecil-terbesar. Orang toko jualannya per set loh. 1 set rebana isi 6 - isi 8 itu jadi untuk bass paling besar ukuran XL kadang 2 biji, ke toko-toko kodian. Tiap daerah itu kan lain mas. Seperti Purwokerto kan empat biji, kadang lima biji, seperti Palembang itu 1 grup sampai 12 ada. Per set paling kecil di sini saya jual sekitar 75 ribu yang isi enam tapi ada yang isi enam sampai 200 juga ada. Untuk TK misalnya, B4nya sekian, terus ukuran nya sekian. Ukuran Mnya sekian, itu kan lebih murah paling sekitar 75 ribu"

Pesaing
Karena itulah, rebana Kaliwadas terancam dengan kehadiran rebana lain dari Gresik, Lamongan, Jepara dan Kudus. Meski jumlah produksi lebih kecil, kualitas rebana dari sana dianggap lebih baik.

Nurohman: "Dan meskipun ada seperti Gresik, Lamongan. Tapi kan jauh prosentasenya mungkin di sini 100 di sana paling dua biji. Misalnya, di sana pesen satu set saja bisa satu bulan. Itu lebih bagus sana memang, di sana khusus pesanan-pesanan tertentu yang sudah main rebananya itu udah pintar, kayunya juga lain. Di sana saya denger satu set sampai satu juta, di sini paling 200-300 sudah dapet. Dari bahan, pekerjaaan mulai pemasangan kulit juga lain, finishingnya juga lain kalau dibanding dengan daerah Kudus, Jepara maupun Lamogan, Gresik itu, ya jelas kualitasnya bagus di sana"

Mutu yang lebih baik
Alasan mutu yang lebih baik ini juga disampaikan Ketua Ikatan Seni Hadroh Banyumas, Abdul Hakim Chariri. Dia bersusah payah beli rebana buatan Kudus. Padahal Kaliwadas lebih dekat.Abdul Hakim Chariri: "Untuk alat ataupun alat musik kita variatif ya.

Maksudnya kita melihat dana dan kondisi karena kita mengenal produksi-produksi alat musik yang secara mutu dsb berkait, bersaing seperti produk yang ada di Bumiayu, Kaliwadas kita pada awalnya menggunakan disitu karena lebih murah. Tapi lama kelamaan kita butuh yang mutunya lebih tinggi. Kita menggunakan produk yang dari Jepara, dari Kudus dengan harga yang tiga kali lipat. Tapi dari sisi kualitas jauh, karena mungkin kambing yang digunakan kambing Arab atau Australia. Kita ga tahu ritualnya, yang jelas kualitasnya luar biasa. Terus kencring atau kencring juga lain bunyinya. Dari apa namanya dari kayunya mungkin kayu juga dari alas roban atau dari mana"

Kendala serius
Ini bisa jadi kendala serius bagi perkembangan industri rebana di Kaliwadas. Apalagi kendalanya pun tak sebatas itu. Pengrajin rebana seperti Masruri mengaku sangat kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya. Karena itu ia lebih memilih menggenjot jumlah produksi dan tak terlalu memperhatikan kualitas.Masruri: "Ya pertama kita memang, ada dua, kita ada modal, baku lagi susah. Giliran banyak modal kurang gitu, jadi kayaknya begitulah, kita ada modal bahan susah" Modal usaha biasanya didapat dari Badan Kredit Desa lewat pemerintah desa setempat, juga dari pengusaha rebana seperti Nurohman.

Nurohman: "Ya sebagian membantulah, memang sekemampuan saya. Misalnya perajin sudah punya kayu tapi belum ada kulit. Saya belikan kulit. Perajin sudah punya kulit, kayunya masih kurang. Saya belikan kayu. Nanti stelah masuk barang, kan itung-itungan, langsung saya kasih sisanya itu"

Kekurangan modal
Sejauh ini, masyarakat Desa Kaliwadas masih menggantungkan penghasilan sehari-hari pada pembuatan rebana. Tapi masalah kurang modal harus jadi perhatian serius. Kepala Dusun Kaliwadas Sakim mengatakan, pemerintah harus lebih memperhatikan industri rebana desanya. Baik dari segi modal mau pun pembinaan usaha. Selama ini, tak ada tindak lanjut serius dari pemerintah setempat untuk mengembangkan industri rebana di Kaliwadas.

Sakim: "Bentuknya cuma wawancara, jadi nanti bisa ditampung. Apa istilahnya bagaimana, apa dipinjami modal, apa gimana kan begitu. Nanti bisa atau diadakan koperasi rebana, tapi sampai sekarang belum ada. Umpamanya sektor ke tempat saya dibayar jadi orang-orang itu kan mesti kumpul jadi satu. Nanti kita yang menjual kebanyakan begitu. Itu maksudnya. Tapi kok sampai sekarang ya, ga ada apa - apa, belum jadi kalau di sini ya modal masing-masing"

Desa Kaliwadas sudah dikenal luas sebagai desa rebana. Tapi kalau kualitas tak diperhatikan serius, bisa jadi pembeli bakal meninggalkan rebana produksi Kaliwadas. Padahal ada ribuan jiwa yang menggantungkan hidup mereka dari pembuatan rebana.

Sumber: Radio Nederland Wereldomroep (RNW)

BATIK SALEM DAN REBANA KALIWADAS BUMIAYU


Pasar Lokal Batik Masih Bergairah
Selasa, 25 November 2008 | 01:34 WIB

Pekalongan, Kompas - Pengusaha batik dan kerajinan di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, yang berorientasi pada pasar lokal tidak mengalami dampak buruk akibat krisis finansial global. Pengusaha masih bergairah menggarap pasar lokal.

Freddy Wijaya (53), pengusaha batik asal Pekalongan, Senin (24/11), mengatakan, penjualan batiknya tidak menurun ketika krisis mendera pasar global. Saat ini pasar lokal kian menjanjikan jika digarap secara konsisten.

Dari usahanya, Freddy memperoleh omzet rata-rata Rp 50 juta per hari, dari sekitar 500 potong busana batik yang dijual. Produksi batik yang terbuat dari sutra dan katun itu dipasarkan ke Bali, Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Makassar.

”Munculnya krisis global tidak membuat penjualan saya menurun. Bahkan pasca-Lebaran lalu, permintaan pasar naik hingga empat kali lipat,” ucap pemilik gerai batik Feno yang tersebar di Pekalongan dan Jakarta ini.

Penyebab tingginya pesanan, lanjut Freddy, adalah merebaknya tren batik, baik di kalangan artis dan di lingkungan instansi pemerintahan.

Uswatunah (23), pegawai di gerai batik Wali Songo, Pekalongan, mengatakan, omzetnya stabil. ”Omzet rata-rata Rp 1 juta per hari, tetapi kalau akhir pekan bisa Rp 3 juta,” kata Uswatun yang dagangannya diminati pembeli dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, dan Madura.

Omzet meningkat

Warwin Sunardi (53), pengusaha batik asal Kecamatan Salem, Brebes, menyebutkan pula, usahanya tidak terpengaruh krisis global. Bahkan, sebulan ini omzetnya meningkat. ”Sebelumnya Rp 25 juta per bulan. Sebulan ini menjadi Rp 30 juta,” ujarnya.

Menurut Warwin, tren busana batik yang dikenakan pegawai pemerintah dan swasta menjadi pemicu banjirnya pesanan batiknya. ”Biasanya dari kalangan pegawai negeri sipil memesan batik dengan desain khusus,” katanya.

Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Bokor Kencono, Diah Wijaya Dewi, mengatakan, untuk mempertahankan pasar lokal bagi pembatik, pemerintah perlu membatasi serbuan batik impor dari China.

Sementara itu, perajin alat musik rebana dan drum di Desa Kaliwadas, Kecamatan Bumiayu, Brebes, juga bertahan di tengah terpaan krisis global. Hamzah Fansuri (30), perajin, menuturkan, pesanan untuk rebana meningkat dari 60 set pada September menjadi 100 set pada Oktober lalu. Rebana tersebut dijual Rp 225.000-Rp 350.00 per set dan dipasarkan ke Palembang, Medan, dan Jakarta.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng Banudojo Hastjarjo mengatakan, agar pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tetap bertahan dalam krisis global, pihaknya mengadakan pelatihan untuk mendorong diversifikasi produk dan memfasilitasi diversifikasi pasar ke daerah atau negara yang tidak terdampak krisis.

”Bagi yang biasa mengekspor ke Amerika Serikat dapat mengalihkan ke Uni Emirat Arab misalnya,” ucap Banudojo. (ilo)

KPU BREBES TETAPKAN CALEG TERPILIH

KPU TETAPKAN CALON LEGESLATIF TERPILIH. Cetak halaman ini
Ditulis oleh Dishubkominfo
Selasa, 19 Mei 2009

Brebes - KPU Kabupaten Brebes telah menetapkan perolehan kursi dan mengumumkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, minggu kemarin / lalu di gedung Islamic Center Brebes. Hadir dalam acara tersebut Wakil Bupati Brebes H. Agung Widiyantoro, SH, MSi didampingi Asisten I Setda Brebes HM. Drs. Supriyono, serta MUSPIDA Kabupaten Brebes, Kepala SKPD Brebes, Tokoh Parpol dan Tokoh Masyarakat.
Wakil Bupati Brebes dalam sambutanya mengatakan bahwa alokasi jumlah kursi anggota DPRD Kabupaten Brebes di tahun 2009 ini bertambah menjadi 50 kursi. Tentunya penambahan ini merupakan tantangan bersama demi terwujudnya perbaikan kinerja kita di masa depan. Selain bertambahnya alokasi jumlah kursi anggota dewan, pemilihan legislatif tahun 2009 ini juga menambah jumlah partai politik sebagai unsur dalam kehidupan berpolitik masyarakat Kabupaten Brebes. sekali lagi, hal ini tentunya akan menambah dinamika kehidupan berdemokrasi di Kabupaten Brebes untuk 5 tahun mendatang.

Peranan DPRD Kabupaten Brebes dalam usaha mewujudkan demokratisasi di berbagai bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, budaya maupun hankam, sangatlah strategis. Oleh karena itu, tuntutan zaman menghendaki adanya kualitas sumber daya manusia yang cerdas, profesional, dan memiliki kesiapan untuk bersikap transparan bila dihadapkan dengan akuntabilitas publik.

Selanjutnya H. Agung Widiyantoro berharap agar anggota DPRD Brebes terpilih nantinya untuk dapat mewujudkan aspirasi rakyat menjadi pengambilan keputusan pemerintah daerah, diperlukan kesediaan antara komponen pemerintahan yaitu exsekutif dan legislatif, untuk saling bahu membahu bekerja sama menyerap aspirasi dari rakyat secara arif, bijaksana dengan mengedepankan prinsip penajaman skala prioritas. sehingga harapan masyarakat dapat terfokus untuk diwujudkan, dalam bentuk adanya kesejahteraan bersama.

Pada Rapat Pleno yang dipimpin Ketua KPUD Kabupaten Brebes Mahfudin, SS menetapkan perolehan kursi anggota DPRD Brebes, dengan perolehan suara sah 748.532 yang terbagi 6 daerah pemilihan. Untuk PDI Perjuangan memperoleh 13 kursi, Partai Golkar 7 kursi, PKB 7 kursi, Partai Demokrat 6 kursi, PKS 5 kursi, PPP 4 kursi, PAN 4 kurrsi, Partai Gerindra 2 kursi, Partai Hanura 1 kursi dan PDK 1 kursi. Dari nama – nama calon anggota legeslatif terpilih 60 persen diantaranya terdapat nama baru dan partai baru. Acara dilanjutkan dengan penandatanganan berita acara oleh anggota KPUD Kabupten Brebes dan para saksi masing – masing Partai Politik.

Sumber berita Bag Humas & Protokol

FOTO-FOTO BUMIAYU - BREBES JATENG INDONESIA










26 Mei 2009 - TIGA ANAK TEWAS DI KAMAR - KERACUNAN KOMPOR PENGHANGAT

26 Mei 2009
Tiga Anak Tewas di Kamar

* Keracunan Kompor Penghangat


BUMIAYU - Gara-gara kompor penghangat ruangan, tiga anak asal Dukuh Taman, Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Brebes meregang nyawa di sebuah kamar.

Ketiganya tewas dengan posisi telentang dan mulut mengeluarkan busa. Korban tewas adalah Ari (17), pelajar STM Maarif Ajibarang, Tian (13) pelajar SMPN 02 Paguyangan dan Irfan (13).

Kejadian tragis itu diketahui Minggu (24/5) pukul 10.00 di rumah Datam, bapak dari salah satu korban, Ari. Pihak kepolisian mengatakan, ketiga korban tewas setelah keracunan gas karbondioksida (CO2).

Hingga kemarin, keluarga korban masih belum bisa dimintai keterangan. Mereka masih sangat terpukul atas kejadian tersebut. Informasi yang diperoleh menyebutkan, peristiwa itu kali pertama diketahui oleh Andi, adik kandung Ari. Saat itu, dia bermaksud mengambil buku di kamar kakaknya.

Namun pintu kamar terkunci dari dalam. Setelah diketuk berulang-ulang, tidak ada jawaban. Andi berupaya mengintip dari kaca jendela.

Ia melihat kakak bersama dua temannya telentang dengan mulut berbusa.
Bersama orang tua dan tetangganya, pintu kamar akhirnya dibuka paksa. ”Ketiganya sudah dalam keadaan meninggal dunia. Dari mulut ketiganya keluar busa,” terang Kades Pandansari Kamdo.

Masih Tercium

Di dalam kamar ditemukan kompor penghangat ruangan yang terbuat dari blik (biasanya untuk tempat krupuk di warung-warung). Bau dan asap tipis yang keluar dari kompor tersebut juga masih tercium. ”Saat masuk ke kamar itu, saya sendiri langsung pusing,” ucap Kamdo.

Kejadian itu langsung dilaporkan ke petugas Polsek Paguyangan yang langsung ke tempat kejadian perkara (TKP) bersama tim medis. Ketiganya langsung di makamkan di pemakaman umum taman setelah beberapa jam disemayamkan di rumah duka.

Beberapa warga mengatakan, sebelum pukul 21.00 (Sabtu, 23/5) ketiga korban masih terlihat duduk berkumpul-kumpul. Tidak ada yang aneh.

Menurut warga, sudah biasa setiap malam minggu anak-anak maupun orang dewasa berkumpul. Diduga kuat, saat berangkat tidur ketiganya memasukkan kompor buatan tersebut ke dalam kamar untuk mengusir hawa dingin.

”Karena penghuni kamar sudah tertidur maka tidak ada yang mencegah. Lazimnya kompor tersebut ditempatkan pada tempat terbuka, tidak didalam kamar,”jelas beberapa warga.

Kapolres Brebes AKBP Drs Firli MSi melalui Kapolsek Paguyangan AKP Sukoyo menandaskan tidak ada unsur penganiayaan dalam kejadian tersebut. Ketiga korban diperkirakan tewas antara pukul 02.00 - 03.00 dinihari ”Tidak ada unsur kekerasan apalagi pengaruh minuman keras,”

Kejadian tersebut diduga karena kelalaian korban membawa masuk kompor penghangat ke dalam kamar. Padahal kondisi kamar cukup sempit, berukuran 2,5 meter x 2,5 meter tanpa ventilasi udara. Praktis kondisi itu membuat korban kekurangan oksigen dan menghirup gas CO yang dihasilkan dari pembakaran bara didalam kompor penghangat.

”Tidak ada sirkulasi udara didalam ruangan itu. Mereka (korban) tewas karena keracunan gas CO,” jelas Kapolsek.

Sementara kejadian tragis yang merenggut tiga korban jiwa menyita perhatian Kapolres Brebes AKBP Drs Firli MSi. Senin pagi (25/5), Kapolres yang didampingi Kaur Bin Kaur Bin Ops Reskrim Iptu Widiaspo dan Kapolsek Paguyangan AKP Sukoyo menyerahkan bantuan kepada keluarga korban.

Dalam kesempatan tersebut, Kapolres meminta warga untuk lebih berhati-hati, terutama dalam penggunaan alat penghangat tradisional tersebut. (H51-61)
© 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved