Senin, 20 Juni 2011

TEMPAT-TEMPAT TERINDAH DI DUNIA DALAM FOTO


1. PUNCAK HIMALAYA TIBET


2. AURORA BOREALIS ALASKA


3. BENTENG CHITTORGARH INDIA


4. CINQUE TERRE BRIVIERA ITALIA


5. COLLEGE VALLEYFIELD QUEBEC KANADA


6. MACHU PICHHU PERU


7. MASSIF DE LA CHARTREUSE, PERANCIS


8. BERDAYUNG SANTAI DILAUT ARKTIK SEJERNIH KRISTAL, DI KUTUB UTARA


9. SEBUAH KOTA DLM GUNUNG, PETRA, YORDANIA


10. GUNUNG TUNGURAHUA EQUADOR


11. TELUK NAVAGIO, YUNANI



12. INTERNATIONAL SPACE STATION, ISS






KETERANGAN:

Ini mungkin adalah tempat-tempat terindah dan paling spektakuler di dunia yang sangat jarang dilihat sebelumnya. Dari keindahan Antartika, kota-kota diatas awan, pantai-pantai tersembunyi yang spektakuler, dan tempat-tempat lainnya, yang bahkan lebih mengagumkan.

NOMOR FOTO :
1. Di suatu tempat di puncak dunia.
Gambar diatas, adalah puncak Himalaya Tibet. Ini adalah titik tertinggi di seluruh Planet Bumi. Dengan foto dan cahaya seperti ini Himalaya tampak seperti sebuah tempat di planet lain.


2. Cahaya Misterius di Utara

Sinar Aurora Borealis yang ”spektakuler” di langit Alaska (ujung utara Amerika, dekat Kutub Utara). Aurora sebenarnya adalah cahaya natural di angkasa yang terjadi akibat tabrakan partikel-partikel medan magnet bumi dengan atom dan molekul dari atas atmosfir bumi. Warnanya yang paling umum ada dua, hijau dan merah dan dapa dilihat pada waktu malam.

3. Benteng Chittogarh, India

4. Desa Warna-Warni
Cinque Terre, Riviera, adalah salahsatu tujuan wisata paling populer di Italia. Kota yang terkenal keindahannya ini dibangun selama ratusan tahun, dan keunikannya tetap terjaga.. Makanan laut disini juga sangat istimewa, tentu karena letaknya yang di pinggir laut Mediterania (Bagian dari UNESCO World Heritage Site).

5. College the Valleyfield
Sebuah universitas pendidikan di Quebec, Kanada, dengan pemandangan kampus yang tidak ada duanya di dunia.

6. Sebuah Kota Diatas Awan.
Inilah Machu Picchu, kota dari peradaban Inca yang hilang. Letaknya di Lembah Urumba, Peru, di puncak gunung, 2430 meter diatas permukaan laut. Tempat ini dibangun pada puncak kejayaan peradaban mereka, tahun 1460-an.

7. Massif De La Chartreuse
Formasi bebatuan yang super unik di pegunungan di timur Perancis.

8. Rekreasi di Ujung Dunia
Berdayung santai di laut Arktik yang sejernih kristal (tapi dingiiinn). Arktik adalah wilayah di Kutub Utara bumi (dari Bahasa Yunani yang berarti Beruang).

9. Sebuah Kota Di Dalam Gunung
Lihatlah kedahsyatan pintu gerbang raksasa ini. Petra, adalah kota yang dibentuk di dalam sebuah gunung batu di Yordania. Tempat ini awalnya dibangun 100 tahun sebelum masehi oleh bangsa Nabatean. Petra dulu sempat berkembang menjadi pusat perdagangan yang makmur di zaman Romawi karena letaknya yang strategis di Arabia. Didalamnya juga terdapat aliran sungai bawah tanah yang airnya berlimpah.


10. Gunung Tungurahua, Ekuador

11. Teluk Navagio, Zakynthos, Yunani

12. International Space Station, ISS
Para astronot sedang berada dalam misi STS116 di Stasiun Ruang Angkasa Internasional, ISS, 3600 km diatas Selandia Baru. Pemandangannya, lumayan spektakuler.

SUMBER DARI : HTTP://IMPERIUMINDONESIA.BLOGSPOT.COM
HTTP://DUITDARIDESA.BLOGSPOT.COM

Rabu, 15 Juni 2011

TEGAL DAN BANYUMAS LUPA BAHASA IBUNYA...




Tegal dan Banyumas Lupa Bahasa Ibunya...

KOMPAS Rabu, 4 November 2009 | 03:36 WIB

Oleh Siwi Nurbiajanti/Susana Rita

Ada resah dalam diri penulis novel dan budayawan asal Banyumas, Ahmad Tohari. Keresahan yang dialami beberapa tahun belakangan ini saat melihat keluarga muda di Purwokerto, Jawa Tengah, mulai enggan menggunakan dan mengajarkan bahasa Jawa dialek Banyumasan yang ngapak-ngapak.

Ada beragam alasan untuk meninggalkannya. Padahal, bahasa Jawa yang didominasi dengan penggunaan vokal A ini adalah turunan asli bahasa Jawa kuno dan sarana komunikasi yang demokratis.

Fajar Satriawan (25), warga Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, juga tidak mewajibkan keluarganya memakai bahasa Jawa dialek Tegalan. Baginya, menggunakan bahasa Jawa Tegalan kurang efektif untuk berkomunikasi karena istrinya yang berasal dari Kabupaten Jepara, Jateng. Bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi sehari-hari bagi pasangan muda itu.

Pasangan itu pun memutuskan tak perlu mengajarkan bahasa Jawa Tegalan kepada anak mereka. Hanya beberapa kosakata yang dikenalkan kepada anaknya.

Demikian pula Oki Lukmansyah, warga Jalan Ayam, Kota Tegal, yang juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa harian. Meski memiliki akar dari Tegal, Oki yang tumbuh di Jakarta mengaku mengalami kompleksitas tersendiri ketika harus berbahasa Tegal.

Fenomena serupa sebenarnya juga tampak di keluarga muda yang tinggal di kompleks perumahan Purwokerto. Liliek, misalnya, penghuni sebuah perumahan di kawasan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), pun mengaku lebih suka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau Jawa Wetanan (Jawa dialek Solo-Yogyakarta). Ia memang pendatang di Purwokerto. Meski tinggal di ”Kota Mendoan” itu selama lebih dari 10 tahun, bahasa Jawa dialek Banyumasan tak juga menggantikan bahasa ibunya. Kepada anaknya, ia suka mengajarkan bahasa Jawa Wetanan meski beristri asli orang Banyumas.

Ahmad Tohari mengungkap lebih jauh alasan orang muda enggan menggunakan bahasa ngapak-ngapak itu. ”Malu,” katanya mengutip pengakuan kawannya yang seorang dokter.

Mengapa malu? ”Barang kali karena bahasa ini sering diidentikkan dengan bahasa pelawak atau babu (pekerja rumah tangga). Orang malu menggunakannya,” tambahnya.

Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu menyatakan, gejala itu adalah ancaman serius bagi keberlangsungan dialek Banyumasan. Hal serupa juga dikemukakan budayawan Tegal, Yono Daryono. Yono melihat hal itu sebagai tanda kepunahan dialek Tegalan. ”Sudah di ujung tanduk,” ungkapnya.

Yono menuding pendidikan dasar menyumbang peran pada ancaman kepunahan itu. Pasalnya, guru sekolah dasar (SD) tak lagi menggunakan bahasa lokal sebagai pengantar dalam pembelajaran. Tak hanya di kelas pertama SD, guru taman kanak-kanak (TK) pun lebih banyak yang kini menggunakan bahasa nasional sebagai pengantar sehari-hari.

Akhirnya, hal ini pun diikuti orangtua. Daripada anaknya tak mampu berbahasa Indonesia di sekolah, mereka memilih mengajar bahasa nasional itu dibandingkan dengan bahasa ibunya.

Kenyataan ini berbeda dengan masa kecil Yono, sekitar setengah abad silam. Ia mengaku, dirinya masih mendapatkan bahasa pengantar bahasa Jawa dialek Tegalan saat mengikuti pendidikan dasar. Setidaknya hal itu berlangsung hingga dirinya menginjak kelas III SD.

”Kalau kondisinya begini, mungkin umur dialek Tegalan tinggal 10 tahun lagi,” ujar Yono.

10 juta pemakai

Meski berangsur terkikis, dialek Banyumasan dan Tegalan masih digunakan di beberapa kabupaten di Jateng selatan dan pantai utara (pantura). Ahmad Tohari memprediksi, setidaknya terdapat 10 juta pemakai yang tersebar di Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo bagian selatan, Brebes, dan Tegal (baik kota maupun kabupaten).

Dialek Banyumasan dan Tegalan sebenarnya memiliki arti penting dalam sejarah bahasa Jawa. Menurut Ahmad Tohari, kedua dialek ini adalah turunan asli dari bBahasa Jawa kuno. Sejak berabad lampau bahasa Jawa kuno didominasi bunyi vokal ”a”, berbeda dengan bahasa Jawa Yogyakarta-Solo yang lebih didominasi vokal ”o”.

Berdasarkan referensi yang dimilikinya, Tohari yakin bahasa Jawa dengan vokal ”o” (Yogyakarta-Solo) adalah bahasa baru yang sengaja dikembangkan oleh Kerajaan Mataram sejak akhir abad ke-16. ”Sebetulnya pengembangan bahasa baru ini dimulai sejak akhir Kerajaan Pajang. Taling tarung (tanda baca untuk vokal ’o’ untuk huruf Jawa) sebenarnya munculnya belakangan,” kata Ahmad Tohari.

Pengembangan bahasa baru ini, kata dia, adalah bagian politik penguasaan yang dilakukan Mataram. Bahasa dipolitisasi sedemikian rupa untuk menciptakan kelas sosial dengan menempatkan bahasa Jawa baru (vokal ”o”) sebagai bahasa berkelas tinggi.

Bahasa Jawa kuno yang pada akhirnya nanti berkembang menjadi dialek Banyumasan dan Tegalan adalah bahasa asli yang digunakan oleh petani dan pedagang (kelas orang kecil).

”Dialek Banyumasan itu memang awalnya bahasa petani. Orientasinya pun populis, ke bawah. Beda dengan bahasa Jawa anyar yang orientasinya elitis. Orientasi ke bawah ini yang kita ganduli (pertahankan). Kehidupan di negeri ini sekarang butuh orientasi ke bawah sekaligus untuk menghabisi feodalisme Jawa yang agak kurang ajar itu,” kata Ahmad Tohari.

Ada perasaan tertindas yang menggelayuti rasa dan pikiran Yono dan Ahmad Tohari ketika harus bicara mengenai bahasa daerahnya. Rasa tertindas oleh orang Solo-Yogyakarta, terutama oleh anggapan bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Solo lebih halus dan tinggi dibandingkan dengan dialek Banyumas dan Tegal.

Perasaan keterjajahan oleh Kerajaan Mataram masih membekas meski masa itu sudah berakhir sejak 1830, bersamaan berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro. Rasa itu kian mengusik ketika mendapati kenyataan pengajaran bahasa Jawa di sekolah formal adalah bahasa Jawa Solo-Yogyakarta. Pengajaran bahasa Jawa jenis itu adalah hal wajib di seluruh Provinsi Jateng.

Apabila Yono lebih resah pada sistem pengajaran formal di sekolah, Ahmad Tohari justru gemas melihat orang Banyumas sendiri yang mulai meninggalkan bahasanya.